Millenialpedulibone.com – Ruangan itu wangi, teh wangi mengepul kue kering tersaji rapi dan ketupat sudah dipotong kecil kecil.
Gibran duduk agak tegak,memakai batik halus, senyumnya hemat seperti biasa, ia sedang menjamu seorang tamu yang tidak terdaftar di Protokol : Tan Malaka
Tidak ada kamera. hanya ada dua manusia dan sejarah yang belum beres.
Tan Malaka : Mas Wapres, saya tidak datang untuk mencicipi opor. saya ingin bertanya satu hal : Apa sesungguhnya yang sedang kau perjuangkan ?
Gibran tersenyum kecil,tapi tak nyaman : Wah, berat langsung pak, tapi yaa.. saya pengen buktiin generasi muda juga bisa punya tempat, biar yang muda nggak cuma disuruh” sabar giliranmu nanti.”
Tan Malaka Menatap Lekat : Tempat, Mas? untuk siapa? untuk rakyat.. atau untuk melanggengkan warisan?
Gibran : Saya tahu orang banyak ngomong soal itu. tapi saya juga kerja pak, saya turun, saya dengar, saya pelajari semua, saya mungkin nggak sehebat anda,tapi saya belajar dari lapangan.
Tan Malaka : Belajar dari lapangan itu bagus. tapi apakah kau paham, lapangan yang mana? Kau bisa turun kepasar, tapi kau tidak tahu harga cabai, itu bukan belajar, kau bisa berfoto dengan petani, tapi kalau tak menyentuh lumpur, itu bukan berpihak.
Gibran Agak Gelagapan : Saya nggak bilang saya sempurna, tapi saya ada disini karna ingin bantu, banyak program sudah jalan, UMKM, bantuan, pelatihan.
Tan Malaka Mengangkat Alis : Program bukan perjuangan. Program bisa selesai, tapi perjuangan hidup di kepala rakyat. Masalahnya, apa yang kau perjuangkan dalam kepala rakyat hari ini? Apa narasimu? Apa yang akan mereka ingat dari kepemimpinanmu, selain siapa ayahmu?
Gibran Diam Sejenak : Yaa.. saya masih mencari arah itu juga, Pak, kadang terlalu banyak yang harus dikerjakan. terlalu cepat semuanya,
Tan Malaka : Kalau begitu, Kenapa terburu-buru duduk dikursi ini?
Gibran : Karena kursinya ditawari duluan, Pak.
Tan Malaka Tertawa kecil, tapi matanya tidak ikut tertawa.
Tan Malaka : Kekuasaan itu bukan undangan makan malam yang bisa kau terima begitu saja. Ia adalah api. kalau kau tak punya gagasan yang cukup besar, kau akan terbakar, kalau kau hanya ingin terlihat muda dan santun, maka kekuasaan akan memakai tubuhmu tanpa pikirannya.
Gibran : Saya tahu resiko itu, tapi saya juga manusia, pak ,saya juga pingin buktiin, saya bukan sekedar anak siapa-siapa, Saya punya kemauan.
Mas Gibran mengaduk teh yang sudah mulai dingin. Suaranya mulai rendah, mungkin karena mulai merasa tak sedang diuji, tapi sedang diajak berfikir. Ia tak langsung menatap mata Tan Malaka, tapi suaranya jujur.
Pak Tan… kalau saya mau belajar lebih dalam, dari mana sebaiknya saya memulai?
Tan Malaka tersenyum. Pelan, tapi tidak mengejek. Ia mengambil pulpen, dan menuliskan sesuatu di selembar tissu.
Kalau kau sungguh ingin belajar, belajarlah dari yang pernah menguliti dunia ini dengan darah dan nalar.
Tan Malaka : Yang lebih penting lagi, belajarlah dari rakyat, bukan dari meja kekuasaan. Karena bangsa ini tak butuh pewaris tahta.
Ia butuh orang yang berani kehilangan posisi demi kebenaran.
Tan Malaka Lalu berdiri,
Menepuk Bahu Gibran.
Lebaran bukan soal baju baru atau open house, Mas. ini soal kembali ke fitrah. Kau masih muda. Jangan buru buru merasa orang besar. buru burulah menjadi manusia yang berpihak.
#BacaAjadulu (Opini Belakangan)